Tuesday, October 05, 2004

Gay Tidak Menular, Tapi......

Pagi ini seperti biasa aku mengecek email di semua alamat email yang aku punya termasuk alamat email dimana aku tergabung dalam millist gay seperti yang sebelumnya aku ceritakan. Salah satu email dari millist gay itu bunyinya begini :

Subject : Batam atau Singapore ??

" Hi All..
Gua Andi, chi 36/176/63 kg, gak sissy
weekend ini gua mau ke batam dan gua cari partner/bf yang gak sissy
bisa hubungi gua di 081XXXXX ( dia tulis lengkap nomornya)

Thanks
Andi

------------------------------
email senada ini rasanya yang paling mendominasi di millist ini, email yang lain kadang-kadang ada yang minta tips ini itu. Misalnya email beberapa waktu lalu yang isinya kira-kira begini :

"Hi, gua lagi naksir banget sama cowok, tapi dia cowok stright, bukan gay, ada nggak yang punya pengalaman kaya' gua dan berhasil dapatin cowok stright yang ditaksir itu? bagi-bagi dong tips-nya".

Banyak sekali yang menanggapi email ini, salah satunya ada yang menulis cukup panjang seperti ini :

Jangan pernah menghubungkan gay dengan cinta sejati. Demikian komentar seorang teman ketika sedang mendapati saya sibuk menyiapkan sebuah diskusi tentang gay. Bagiamanapun juga, lanjutnya lagi, gay bukan sebuah pilihan yang tulus. Dan seseorang tak akan bisa melakukan yang sejati di atas ketidaktulusan.

Komentar teman saya tadi, yang kebetulan sudah mampu menerima kegay-annya sejak beberapa tahun lalu, langsung mengubah kesadaran saya waktu itu. Benar juga, sesuatu yang dilakukan atas dasar ketidaktulusan selalu menjadi ketidaksejatian. Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa cara-cara pendekatan gay untuk mencari pasangannya selalu ditentukan oleh dua cara yakni keterusterangan atau kepura-puraan. Dua cara tadi menurut saya adalah sebuah bentuk sikap yang didasari oleh kepasrahan menerima kondisi menjadi kaum minoritas itu. Bahkan ketika gay itu sudah benar-benar bisa menerima dirinya sekalipun.

Golongan pertama, yakni yang berani berterus-terang, biasanya sudah lebih berani untuk terbuka menyatakan identitasnya. Maka dengan berani juga mereka akan segera memperkenalkan diri sebagai gay. Sementara golongan kedua akan selalu panik menyadari kegay-annya itu hingga ia tidak bisa nyaman melakukan keintiman pada calon pasangannya itu. Biasanya ia akan mengaku sebagai saudara atau sahabat dekat. Pergantian predikat ini dianggap cukup aman sekaligus juga memberikan sensasi kedekatan yang tak kalah intim dengan ketika mereka meniru cara terus terang seperti golongan pertama.

Cara pertama tak akan banyak saya komentari mengingat cerita itu biasanya tak begitu menarik. Kalau tidak happy ending, biasanya pendekatan kaum ini hanya akan menjadi cerita cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Sementara cara penyamaran biasanya langsung menyediakan lika-liku cerita yang menarik. Teman saya yang gay tadi misalnya, ia sanggup membuat pria yang sangat dicintainya mau hidup dengannya selama beberapa bulan hanya dengan alasan kedekatan sebagai teman. Pria yang dicintainya itu adalah teman sekamar ketika mereka sama-sama menjalani praktek lapangan di luar kota. Keintiman yang dia lakukan pada pria itu pada awalnya sangatlah unik. Hanya dengan alasan tidak biasa tidur sendiri, takut tidur dalam gelap maka teman saya tadi segera bisa menggaet teman sekamarnya untuk tidur seranjang. Tentu ada dua persepsi yang berbeda dalam benak mereka. Teman saya merencanakan paket-paket keintiman yang kongkrit sementara pria yang dicintainya itu hanya siap untuk berposisi sebagai sahabat yang menemani tidur, tak lebih dari itu.

Manuver teman saya berhasil. Maksudnya selama di luar kota itu ia sanggup mengkontrol dirinya dalam kepura-puraan. Kedekatan yang dibinanya selama sekamar di luar kota itu kemudian ia lanjutkan dengan menjadi teman sekamar dalam pondokan mereka yang baru. Pria itu bersedia. Di sinilah teman saya tadi mulai melakukan keintiman yang lebih fisikal dari sekedar obrolan verbal seperti sebelumnya. Kebiasaan saling memijat sebelum tidur, satu selimut berdua untuk menghemat cucian sampai akhirnya ciuman menjelang tidur menjadi kebiasaan yang wajar. Tidak hanya bagi teman saya tapi juga bagi pasangannya itu. Ketika ia saya tanya bagaimana caranya, ia hanya tertawa.

Kejadian teman saya itu terjadi ketika ia baru saja mau menerima kondisinya sebagai gay. Kalau gay yang sudah mantap saja kadang-kadang masih menyikapi kondisinya sebagai sebuah pilihan sulit, maka tentu teman saya jauh lebih buruk lagi kondisinya. Penerimaan dirinya sebagai gay lebih karena ia tidak lagi merasa mampu berbuat banyak dalam hidupnya hingga akhirnya ia buru-buru mengamini kondisi gay-nya. Hidup hanya sebentar maka sayang kalau kita terlalu merisaukan sesuatu yang sudah tidak mungkin berubah, begitu komentarnya tentang pilihannya menjadi gay. Pilihan itu memang bernada pesimistis tapi akhirnya dari ceritanya saya tahu kalau ia berniat menjalani pilian itu dengan mantap.

* * *
Dalam benak saya keintiman adalah sebuah akumulasi traumatik yang disusun atas perjalanan hidup kita. Seseorang baru akan bisa merasa intim kalau ia sudah melakukan kontak fisik dengan lawannya jika semasa kecilnya ia dibiasakan dalam hubungan kontak fisisk. Misalnya saja ketika sesorang selalu dibiasakan mencium dan dicium bapak ibunya saat ia hendak pergi ke sekolah, maka rasa-rasanya tidak mungkin ia akan merasa intim dengan seseorang hanya dengan saling memandang atau lewat percakapan sepenggal. Kontak fisik adalah legitimasi keintiman yang ia sepakati.

Hal ini tejadi juga pada gay, saya pikir. Gay memang tidak menular tapi jangan lupa seseorang bisa menjadi gay ketika ia menikmati stimulus homoseksualitas pertama yang diberikan kepadanya. Dan stimulus homoseksualitas selalu dilakukan dengan kontak fisik. Kalaupun tidak bisanya kontak fisik tetap menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan orientasi seksualitasnya Misalnya saja stimulus pertama itu akan menentukan titik-titik rangsangan favorit saat ia beruhubungan seks.

Hal di atas bisa juga dijelaskan dalam kasus teman yang saya ceritakan tadi, dalam analisa psikologisnya ia adalah seseorang yang gagal dalam perkembangan oralnya. Dulunya ia adalah bayi yang disapih secara prematur dari payudara ibunya. Fase oral yang tidak lengkap ini membuatnya selalu melakukan aktifitas oral di saat emosi tidak stabil dengan msalnya saja makan, minum atau teriak-teriak. Ketidakseimbangan ini kemudian terbawa juga pada pilihannya menetukan titik rangsang favoritnya. Singkatnya sebagai gay akhirnya ia lebih suka melakukan seks oral daripada sodomi.

Selera ini tidak terbentuk karena rangsangan pertama yang didapatkannya dari orang lain hingga ia menjadi gay. Karena teman saya ini menjadi gay hanya karena satu sebab, ia membenci ayahnya hingga tanpa stimulus apapun ia sudah mengorientasikan dirinya sebagai gay. Namun kontak fisik pertama yang dirasakanya sebagai gay, ditambah dengan kelemahan fase oral tadi telah membuatnya tergila-gila pada aktivitas oral seks daripada sodomi. Sensasi stimulus seks pertama yang dirasakan teman saya tadi adalah ketika ia harus merelakan kawan sekelasnya menghisap anunya saat mereka belajar kelompok.

* * *
Sebelum saya akhiri, saya ingin kembali mengomentari keberhasilan teman saya tadi mendekati pria pujaannya. Setelah ia hanya menjawab pertanyaan saya dengan tertawa, ia kemudian mengajak saya ke beberapa tempat pelacuran. Bukan untuk jajan, tapi untuk ngobrol dengan wanita penghibur di sana. Rayuan-rayuan maut merekalah yang kemudian dipelajarinya dan dipraktekkannya untuk meningkatkan keintiman ia dan pasangannya. Kalaupun ia akhirnya memakai wanita penghibur, itu hanya karena ia ingin mengetahui titik sensasi yang sangat disukai pria dalam perspektif wanita. Pada titik ini saya tidak pernah habis pikir menyadari kecerdikannya yang kadang terkesan konyol dan lucu itu.

Setelah melakukan survey tadi pada akhirnya kesulitan studi, tipisnya dompet, lemahnya fisik, stress berlebihan adalah komoditi rayuan dia ketika ia menginginkan sebuah kontak fisik yang lebih dari pria pujaannya itu. Pernah suatu kali ia mencoba untuk pulang ke kamar, masuk ke kamar tidur mereka dengan memasang wajah lesu dan mata memerah. Kawan sekamarnya yang belum tidur segera saja memberi respon yang diharapkan. Rasa belas kasihan membuatnya menghentikan pekerjaaanya dan langsung memberi perhatian penuh pada teman saya tadi. Pada saat seperti itulah aku akan mulai menangis atau pura-pura pingsan, kata teman saya di sela-sela wawancara. Dengan cara seperti itu maka biasanya pria pujaannya itu akan segera menyiapkan, meminjam istilah Tommy Page, shoulder to cry on.

Sambil sesenggukan biasanya ia akan mulai mengarang cerita atau mendramatisir nasibnya. Pria pujaaannya akan semakin trenyuh. Dalam tingkat ketrenyuhan tertentu, kita harus siap dengan rencana berikutnya, ujar teman saya tadi. Maksud dia ketika pria pujaannya itu sudah sangat trenyuh dengan ceritanya maka ia segera meminta penghiburan dari pria pujaan itu dengan cara mencium, memeluk, mendekap. Bahkan dalam beberapa kasus teman saya tadi bisa mendapatkan ciuman bibir dari pria pujaannya itu untuk mengembalikan ketenangannya. Parahnya lagi, dengan modus operandi seperti itu pria pujannya mau juga megikuti kemauan seks oral teman saya tadi dengan kesadaran penuh. Kalaupun kesadaran itu tidak penuh, itu hanya karena ia tidak pernah sadar bahwa ia tengah sekamar dan beraktivitas seks dengan gay. Dan teman saya tadi, seperti biasanya selalu pandai menyembunyikan identitasnya.

J P
Gay
------------------------------------------------------------------

0 Comments:

Post a Comment

<< Home