Friday, January 07, 2005

Great Parents ( Family Series - Part 2, epidose 1)

Awal minggu ini satu teman cerita bagaimana muramnya Aceh ikut mempengaruhi dia. Uncu, temanku satu SMA, sama-sama dari sumatra dan sekarang sama-sama tinggal di jakarta. Kejadian di Aceh membuat dia belakangan selalu rindu rumahnya, orang tuanya, dan pinginnya selalu pulang dan bersama-sama keluarganya. Aku agak surprise mendengar ini dari dia, karena setahu aku anak ini tipe yang pulang kampung itu kalau ingat saja, tipe adventurer sekali ( benar tidak, cu??). Kalau ada yanng belum percaya juga kalau bencana di Aceh itu luar biasa dahsyatnya, just believe it now..:)

Sebenarnya untukku sendiri imbas ini terasa sama. Begitu melihat semua tayangan itu, pikiranku langsung melayang ke keluargaku, terutama orangtuaku. Aku jadi mengingat-ingat tentang mereka, dan potongan-potongan gambar itu mulai melintas satu persatu di kepalaku. Kali ini ijinkan aku cerita tentang dua orang hebat untuk aku dan saudara-saudaraku. Jika nanti ada penyebutan beberapa prestasi sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri, hanya untuk penegasan dan penunjukan hasil yang aku anggap luar biasa dari dua orang hebat untukku ini.


Papaku lahir di Baturaja 50 tahun lalu, beliau besar di Prabumulih. Yang aku tau kehidupan papaku dari kecil tidak begitu mulus, kehilangan ibu waktu usia sekolah dasar, pendidikan tidak begitu terperhatikan, hingga papaku hanya berhasil duduk dikelas 2 SMA.


Sedangkan mamaku lahir di Bedegung, juga 50 tahun lalu. Hidup mamaku waktu kecil lebih tidak beruntung lagi karena kehilangan ibunya bahkan ketika mamaku belum berumur 1 tahun. Dan parahnya lagi beliau diasuh oleh ibu tiri yang menurut cerita beliau dan tetangga-tetangganya di kampung adalah tipe steorotip ibu tiri. Tapi untungnya pendidikan mamaku cukup baik, beliau berhasil menamatkan pendidikannya di PGA (pendidikan guru agama).


Mereka menikah di usia yang cukup muda, 20 tahun. Saat menikah papaku bekerja di perusahaan telekomunikasi dan mamaku mengajar agama di SD. Setelah menikah dan punya anak mamaku memutuskan untuk berhenti mengajar dan konsentrasi kekeluarga.

Melihat latar belakang keluarga dan pendidikan orang tuaku ini, sangat-sangat mengejutkan bagaimana mereka memutuskan untuk melakukan apa saja demi pendidikan kami anak-anaknya. Apalagi mengingat lingkungan sekitar kami yang sama sekali tidak pernah melihat pendidikan sebagai satu hal yang harus di prioritaskan.
Aku tidak tau darimana orang tuaku terilhami bagaimana cara mendidik kami, yang jelas bukan terinspirasi dari bagaimana dulu mereka dididik orang tuanya. Tapi apapun yang mengilhami itu aku takjub dengan hasilnya.

Mendidik anak bukan hal yang mudah, semua orang tau itu. Aku jadi ingat satu hari papaku pernah bicara begini :

"anak itu pemberian tuhan, yang ketika keluar dari perut ibu tidak disertai juga dengan keluarnya buku manualnya, tidak seperti saat membeli tv, waktu terima barang ada manual yang menunjukkan bagaimana memakainya, dan jika rusak ada petunjuk bagaimana memperbaikinya. Orangtua harus memikirkan sendiri dan berkreativitas sendiri.".

Papaku terus mengulang ini kalau kami mulai protes dengan aturan yang papaku terapkan:).

Kalau dikatakan pendidikan ketika anak-anak sangat menentukan, aku percaya itu. Dan mungkin juga ini yang sangat disadari oleh orangtuaku, sehingga mereka coba melakukan yang terbaik di rumah saat usia kami 4 – 12 tahun. Banyak ilmu yang menurutku penting seperti membaca dan mengaji kami kuasai sebelum usia sekolah. Aku mencoba mengingat-ingat apakah dulu pernah mengalami keterpaksaan atau bahkan menangis karena harus belajar? Dan aku tidak menemukan itu dalam ingatanku.

Seingatku aku pribadi lebih dulu bisa mengaji daripada membaca, dan keduanya aku kuasai sebelum aku masuk TK. Tiap malam sehabis maghrib mamaku mengajar kami mengaji, huruf demi huruf kemudian menyambung huruf dan akhirnya bisa membaca apa saja yang tertulis di alqur’an.Hal ini rutin kami laksanakan bahkan ketika kami pindah ke rumah sendiri yang bangunannya masih belum selesai dan listrikpun belum masuk jadi kami harus mengaji dibawah penerangan lampu semprong. Ada satu kejadian ketika sedang mengaji entah apa penyebabnya aku dan adikku yang bungsu ribut, dan kedua tangan kami menyentuh semprong lampu yang pasti panas sekali hingga pecah. Dan luka karena kulit yang melepuh itu masih tersisa sampai sekarang, bekas lukaku di tangan kiri dan adikku di tangan kanan, tapi ditempat yang sama. Sekarang kalau kami berdua bertemu masih sering menanyakan apa kabar luka itu? Apa masih ditempat yang sama??:)

Membaca juga tidak jauh berbeda dengan mengaji. Seingatku ini juga lebih banyak diajarkan mamaku karena rasanya memang lebih menarik belajar dengan mamaku:). Metode yang mamaku pakai sangat menarik buat anak-anak, lewat lagu dan cerita.

Entah melalui kesepakatan atau terjadi begitu saja, pembagian mengajar kami saat kami sudah masuk sekolah seperti ter-split jelas antara yang diajarkan mamaku dan yang diajarkan papaku. Papaku mengajar ilmu pasti dan pengetahuan alam sementara mamaku mengajar agama, kesenian, dan pengetahuan sosial.

Saat masa SD ini seingatku lagi-lagi kami nyaris tau semua yang anak SD harus tau itu dari belajar di rumah. Seperti hafal pengalian 1 – 10, 37 pasal UUD+pembukaan, 36 butir pengamalan pancasila, 27 provinsi beserta ibu kota, bandara, dan gubernurnya, mata uang dan kantor berita dunia. Semua selalu sudah kami kuasai bahkan ketika sekolahku belum mengajarkan apa-apa soal itu :)

Metode yang biasanya digunakan mamaku untuk ini adalah menuliskannya dalam kertas besar-besar dan menempelkannya di dinding kamar dan ruang makan kami. Kemudian secara random beliau sering secara tidak terduga menguji kami :). Aku ingat sekali satu kejadian tentang ini. Dulu tugasku setiap sore adalah menutup dan mengunci semua jendela yang ada di rumah, ada kira-kira 5 jendela. Jendela kami itu agak tinggi untuk ukuran anak SD kelas 3 jadi aku harus memanjat ke kusen jendela itu untuk meraih kunci paling atas dan menguncinya. Saat aku sedang memanjat itu mamaku sedang menyetrika tidak jauh dari jendela yang aku akan kunci, tiba-tiba mamaku bertanya :’tan..bandara yogyakarta apa??’ dan aku tidak bisa jawab :) Mamaku bilang selesai tutup jendela itu ke dapur dan lihat di kertas disana apa bandara yogyakarta dan kasih tau mama lagi. Sampai hari ini aku tidak pernah lupa bandara yogyakarta itu Adi Sucipto :).

Ketika itu aku pernah menanyakan ke papaku kenapa kami selalu diajarkan apa yang belum diajarkan di sekolah. Menurut papaku standard yang papaku pakai adalah standard Jakarta yang papaku ketahui dari Majalah Bobo dan Ananda. Dulu di majalah bobo ada 2 halaman yang isinya pertanyaan-pertanyaan untuk anak kelas 4 hingga kelas 6. Menakjubkan bukan?? Papaku rupanya ingin kami sejajar dengan anak-anak di jakarta meskipun kami sekolah di tempat yang bahkan mungkin tidak pernah terlintas dikepala orang-orang jakarta:).

Aku ingat dulu kami langganan banyak sekali majalah. Untuk papaku selain koran KOMPAS ada Tempo, intisari dan beberapa majalah ilmu pengetahuan dan psikologi modern yang aku lupa namanya, untuk mamaku ada majalah Ayahbunda dan Amanah, untuk kami Bobo, Ananda, Siswa, Aladin. Karena tempat kami adalah kota kecil, jadi papa-ku harus langganan semua majalah itu di kota kira-kira 40 km dari tempat kami. Jadi di rumahku nyaris tidak ditemukan apa-apa selain buku dan majalah. Sebenarnya ini kebiasaan yang sangat tidak lazim dilingkungan kami, dan sering jadi bahan pembicaraan orang-orang karena aneh untuk mereka kok bisa ada orang yang lebih mementingkan untuk membeli segala macam kertas bertulis itu sementara rumahnya bahkan belum ditembok dinding luarnya. Seingatku rumah kami selesai di tembok ketika aku duduk di kelas 4 SD. Ini foto kami di depan rumah yang sudah di tembok itu :)


0 Comments:

Post a Comment

<< Home