Thursday, November 01, 2007

Ayo Bertani !

Ini judul tayangan di metro tv. Aku termasuk 'switched audience' kalau nonton tv, tidak pernah manteng di satu stasiun tv atau satu program. Waktu sedang pindah-pindah channel itu karena tidak ada program yang menarik ketemulah aku program ini.


Judulnya simple tapi jelas maksudnya. Mengajak orang bertani. Tayangan hari itu mengajak bertani jagung. Ini cerita tentang provinsi Gorontalo yang sukses membangun perekonomiannya dengan bertumpu pada pertanian jagung sebagai awal. Tayangan ini memberi aku beragam rasa : kagum, bangga, terharu, gemes, dll. Aku kagum dengan strategi pemerintah sana membangun tempat ini, kedengaran simple, jelas, dan menyeluruh. Bangga sekali aku melihat bagaimana strategi itu berhasil diterjemahkan menjadi nyata. Karena di negara ini strategi ini dan itu sering sekali terdengar tapi sedikit sekali yang menemukan wujud nyatanya. Waktu melihat hamparan pertanian jagung yang luas seperti melihat tayangan lahan pertanian di film2 hollywood aku merasa haru sekali, akhirnya ada juga tempat di Indonesia yang seperti itu. Dan ini bikin aku gemes banget kenapa daerah lain, misalnya asalku, Palembang – sumatra selatan- tidak bisa seperti ini ?


Aku harus menyebut Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, sebagai tokoh sentral di semua tayangan yang terlihat ini. Aku masih ingat 2 tahun lalu saat pulang lebaran aku melihat di TVRI Fadel Muhammad menjadi tamu acara yang dipandu oleh Dewi Motik, aku mendengar Fadel berbagi apa yang sampai saat ini dilakukan di Gorontalo dan apa rencana-rencana kedepannya. Tapi ini tidak disertai tayangan2 seperti yang aku lihat kemarin. Menurutku strategi dan slogan yang dibangun jelas dan simple sekali sehingga dapat dipahami sampai ke masyarakat terbawah. Semua orang seperti tau harus apa, misalnya kalau punya tanah tau harus ditanam apa, pembuat makanan tau harus mengolah apa, universitas tau harus meneliti apa, pedagang tau harus berdagang apa, yang punya angkutan transportasi tau harus menyiapkan jenis kendaraan apa, mungkin sampai pembuat permen pun tau harus membuat rasa apa :)'.


Berbeda dengan Sumsel dengan slogan-nya yang terpampang dimana-mana yaitu Sumsel Lumbung Energi Nasional'. Waktu baca slogan ini responku mungkin sama dengan warga sumsel lain : OK, Sumsel memang kaya akan sumber energi: batubara, minyak dan gas, so what!, aku harus apa nih? Harus nambang di depan rumah? Harus pakai gas banyak-banyak? Harus jualan minyak?


Tidak merakyat sama sekali menurutku slogan ini. Dan lebih parahnya kondisi sumsel yang kaya sumber energi ini sama sekali tidak terasa oleh masyarakat. Paling tidak ini yang aku rasakan : Sumsel punya banyak batubara, ini terlihat dan terasa jelas karena setiap hari saat melintas rel kereta api seringkali harus menunggu lama waktu kereta pengangkut batubara yang kami sebut kereta babaranjang lewat, tapi listrik sering sekali mati, bahkan harus mengalami giliran pemadaman.Sumsel kaya akan minyak, Prabumulih dan Pendopo adalah sumber minyak dari jaman dulu, tapi masyarakat disana malah hanya kebagian jalan yang tidak pernah mulus dimana-mana karena selalu dibongkar pasang untuk keperluan pipa aliran minyak. Sampai lebaran kemarin aku ke Prabumulih tidak ada yang berubah dari kota ini, tidak terlihat pembangunan yang berarti dan tentu saja kondisi jalan-jalan tetap seperti dulu. Tempat lain seperti Muba (Musi Banyu Asin) kaya akan gas, sekarang jadi penyuplai gas untuk jawa barat melalui pipa gas yang panjang. Jalur pipa gas ini harus melewati tanah penduduk termasuk tanah pertanian. Ada ganti rugi memang untuk sawah yang dilewati ini, tapi ini kan menghilangkan mata pencaharian orang yang mungkin bisanya cuma bertani. Kalau ditanya si pemilik sawah ini pasti tau dia slogan lumbung energi itu, tapi coba ditanya dia bisa apa atau dapat apa dari sana? Pasti tidak tau apa-apa dia, pdahal selama 17 tahun dia hanya akan melihat perginya gas dari daerahnya ke jawa barat tanpa dia dapat manfaat apa-apa dari sana.


Sebagian besar penduduk sumsel masih petani dan berjiwa petani, hasil buminya banyak dari mulai sayuran, beras, rambutan bahkan duku dan durian yang sudah punya nama.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Salah satu kabupaten di Sumsel


Berikut beberapa foto kondisi daerah tepat di belakang kantor bupati ini. Namanya kampung Terukis, aku dibesarkan di tempat ini, saat lebaran yang baru lewat tadi aku berkesempatan berkunjung ke sini.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Kondisi jalan disebelah kantor bupati (kontras sekali bukan?)

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Pohon rambutan dan pisang ada hampir di tiap rumah

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Hamparan sawah yang luas yang jadi andalan sandaran hidup warga yang bertetangga dengan bupatinya ini

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Tumpukan kulit padi di salah satu dari 2 pabrik beras yang ada

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Singkong sumber penganan sehari-hari seperti tiwul, gatot, keripik

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Daun singkong muda nan segar ini mudah dijumpai dipasar-pasar di Martapura

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Kelapa sawit pun dihasilkan disini.

Melihat kondisi satu tempat ini saja, bagaimana tidak slogan sumsel sebagai lumbung energi nasional seperti itu jadi terlihat seperti kata pepatah : Jauh panggang dari api.
Yang jadinya terasa malah pemerintah seperti 'menjual' kekayaan tanpa jelas ini akan dirasakan manfaatnya oleh siapa. Oleh masyarakat yang jelas sampai saat ini tidak terasa, apalagi masyarakat di desa. Di kota Palembang sendiri yang terlihat perubahannya hanya banyak mall dimana-mana sekarang, kalau soal listrik masih seperti dulu, sering mati, air bersih juga sulit.


Dalam bayanganku kalau semua daerah bisa seperti Gorontalo, makmurnya Indonesia itu bukan mimpi. Tidak perlu strategi dan slogan yang wah, yang sederhana tapi mengena saja. Sistem otonomi daerah jelas memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk berkreative-rida dalam hal ini. Tujuan otonomi daerah itu kan yang seperti ini, supaya tiap daerah bisa melakukan apa saja yang mereka mau yang sesuai dengan kondisi daerah mereka, bukan malah otonomi daerah dilihat sebagai kesempatan yang lebih luas untuk ’mengatur’ keuangan daerah untuk kepentingan kantong sendiri.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home