Darto = Radar Moto
Cerita tentang Darto ini jadi hal yang paling menarik dari interview-ku dengan perusahaan yang mengembangkan survaillance system untuk militer. Nama perusahaannya PT. Global Asia Teknologi (Asiatek). Aku menginterview salah satu pendiri perusahaan - M. Fadli (Mas M ) ini untuk keperluan thesis-ku.
Ide pengembangan survaillance system ini dimulai dari sejenis tugas akhir seorang perwira siswa sesko TNI-AU tentang operasi bersama pemantauan rutin Selat Malaka antara angkatan udara Malaysia, Singapore, dan Indonesia. Selat Malaka termasuk salah satu jalur perdagangan di dunia yang sangat sibuk, sehingga keamanan dari perompak dan bajak laut di Selat Malacca menjadi sangat penting.
Saat patroli bersama antara 3 negara ini menggunakan pesawat masing-masing negara secara bergantian. Personnel dari 3 negara juga semuanya akan berada di dalam pesawat tersebut. Pesawat dari Malaysia dan Singapore dilengkapi dengan survaillance system, sedangkan pesawat Indonesia tidak. Jadi saat patroli bersama dengan menggunakan pesawat indonesia, pemantauan dilakukan dengan teknik Darto ini, Radar Moto.
Caranya : personnel diberi diberi tali pengaman yang diikatkan di pinggang, pintu pesawat dibuka, personnel dengan kamera di tangannya nongol keluar dari pintu pesawat dan melakukan pemotretan dengan kamera secara manual :)'.
Cerita ini terdengar lucu waktu diceritakan, tapi juga miris saat mendengarnya.
Ini salah satu gambaran kondisi TNI kita di bandingkan dengan 2 negara tetangga kita. Tidak heran sebenarnya kalau mendapati akhir-akhir ini 2 tetangga ini makin tidak ada respect-nya dengan Indonesia. Karena mereka tau kekuatan yang mereka punya dan kekuatan yang Indonesia punya.
Aku ingin sharing cerita tentang ini disini sebenarnya bukan untuk 'menelanjangi' negara kita, tapi point yang lebih penting yang aku ingin sharing disini adalah apa yang dilakukan selanjutnya oleh perwira TNI AU dan beberapa teman di asiatek yang membantunya membuat tugas akhirnya, mereka yang menyadari kelemahan kita ini dan berinisiatif melakukan sesuatu untuk itu. Aku jadi ingat salah satu tulisan satu teman tentang: The Power of ":Do Something".
Orang-orang ini kemudian mengajukan proposal untuk pengembangan survaillance system ke Direktorat Teknologi dan Industri (Dirtekind) Dephan. Sudah menjadi amanat undang-undang bahwa Dephan harus melakukan pembinaan industri pertahanan. Direktur Dirtekin menyambut baik proposal ini dan dianggarkan lah project pengembangan survaillene system ini. Asiatek memulai project ini from scratch, dari nol. Dalam setahun 2 prototype sukses dibuat. System ini sudah lulus tahap pengujian oleh TNI-AU, sudah siap di produksi massal jika pemerintah mau. System ini diclaim lebih baik dari produksi Israel dan Australia.
Point lain yang ingin aku share selain dari the power of do something ini adalah tidak sulit menemukan sumber daya manusia Indonesia yang mampu untuk membut peralatan berteknologi. Aku sudah mewancarai 3 perusahaan untuk thesisku ini, mampu kok kita membuat hovercraft, panser, dan survaillence system. Kemampuan acquisition technology kita aku pecaya tinggi, seperti jug pernah dikatakan oleh mentri perhubungn dalam interiew-nya dengan Peter F Gontha beberapa waktu lalu. Sekarang tinggal kesadaran, kebijaksanaa, dan cerdasnya pemerinth dan orang-orang punya kemampuan Indonesia ini saja. Inisiatif bisa datang dari mana saja, tidak harus hanya dari pemerintah, tidak juga harus dari masyarakat saja.
Untuk yang udah mual lihat Malaysia yang makin menjadi-jadi akhir-akhir ini tingkahnya, jangan hanya berharap pemerintah saja yang Do Something, sehingga cerita seperti Darto ini tidak ada lagi.