Wednesday, January 26, 2005

WTK dan Oplok-Oplok

Setelah 3 tahun akhirnya aku merasakan lagi masuk ke dalam kelas dan mendengarkan guru mengajar. Kemarin, 25 January 2005 hari pertama kursus Public Relationship. Ya, aku mengambil kursus yang tidak ada hubungannya dengan back ground pendidikan dan pekerjaanku sekarang itu:).

Aku mendaftar awal bulan lalu ke Interstudi, mereka menyedikan beberapa pilihan untuk kursus PR ini, dan aku mengambil kursus Dasar Public Relation. Lokasinya di Sahid Jaya Hotel Lt. 2, lama kursusnya 2 bulan dengan 2 kali pertemuan tiap minggunya (Selasa dan Kamis) dan tiap pertemuan 2 jam (19.00 - 21.00). Biaya kursusnya satu juta rupiah. In case ada yang ingin tahu, materinya adalah : Pengantar Public Relations, Professonal Image, Komunikasi dalam PR, Media Public Relations, Social Marketing, PR Writing, Hubungan dengan Press, Special Events, Periklanan dalam PR, PR Campaign, Perencanaan Kerja PR-1, Perencanaan Kerja PR2, Berbicara Efektif, Teknik Presentasi, Teknik Negosiasi, dan PR & Krisis Manajemen.

Ruang kelasnya nyaman, peserta di kelasku 14 orang termasuk aku, 4 orang laki-laki dan sisanya perempuan. Aku memilih duduk di deret paling depan.
Menurut jadwal yang diberikan ketika akan masuk kelas, pelajaran hari itu adalah pengantar public relations, pengajarnya perempuan, ibu Ulani : cantik, rapi, gaya bicaranya menarik dan enak didengar.

Hampir 1 jam pertama diisi dengan perkenalan, masing-masing orang ditanya 4 hal : nama panggilan, kegiatan sehari-hari, back ground, dan alasan memilih kursus PR ini. Rupanya untuk ibu ulani pertama tidak berarti yang paling depan, dia lebih memilih mulai pojok kiri di deretan paling belakang, jadi aku mendapat giliran ke 2 dari terakhir. Ternyata semua peserta kursus sudah bekerja dan beragam sekali : businessman, perhotelan, sekretaris, adv. agency, instruktur terjun payung, designer, fotografer, translator, dll. Demikian pula dengan alasan mengikuti kursus, ada yang karena perusahaan tempatnya bekerja punya rencana untuk menambah devisi public relation, ada melengkapi ilmu sekretarisnya dengan ilmu PR, tapi yang dominan adalah WTK ( Want To Know) :) .

Saat tiba giliranku menjawab pertanyaan itu, sebenarnya inti jawabanku sama, WTK juga :), tapi aku memilih menggunakan kalimat lain ( i know fer, you will say : dasar politikus:)). Aku cerita bahwa awalnya ini diilhami dari seorang palmist yang membaca tanganku dan mengatakan bahwa pekerjaan yang paling cocok buatku adalah menjadi Public Relation. Walaupun aku 1000% ragu dengan ini, tapi banyak teman justru setuju dengan si palmist. Akhirnya kuputuskan untuk tau sebenarnya public relation itu seperti apa.

Ibu Ulani langsung mendekati aku dan meminta aku memperlihatkan telapak tangan kananku. Ternyata menurut beliau dia mempelajari palmistry juga. Kira-kira 5 menit kemudian dia mengatakan : dari energy kamu berbicara dan dari garis telapak tangan kamu, kamu memang cocok jadi PR, tapi lebih ke PR business. WOW!! Kalau saja semuanya ternyata benar, rasanya aku orang yang paling buta dalam melihat diriku sendiri ya?:)'.

Setelah satu orang setelahku memperkenalkan diri, bu Ulani segera menghidupkan OHP dan membahas slide-slide transparan yang dia bawa. Aku memilih hanya mendengarkan saja, tidak mencatat apa-apa karena semua materi ada di buku manual yang diberikan. Ibu Ulani punya banyak cerita rupanya dan dia pintar bercerita. Ada satu cerita beliau tentang bagaimana saling pengertian ( mutual understanding) itu bukan pekerjaan mudah.

Ini dia cerita bu Ulani :
'Waktu sebelum menikah kita perempuan indonesia biasanya diajakan ibu kita kalau nanti telah menikah sebagai istri yang baik kalau suami akan berangkat kerja istri harus menyiapkan segala sesuatu perlengkapan suami bekerja. Jadi ketika saya menikah tiap pagi saya menyiapkan semuanya untuk suami saya, dari mulai CD sampai kaos kaki. Dan semua berjalan begitu setiap hari, dan saya merasa saya sudah menjadi istri terbaik, sampai suatu pagi ketika saya menyusun CD, kemeja dll diatas tempat tidur tiba-tiba suami saya berteriak :STOP!!, saya bukan anak TK, hari ini pakai baju hijau, besok biru dst. saya mau memakai apa yang rasanya hari ini saya mau pakai'.
Ketika hal ini saya ceritakan ke teman kantor saya yang laki-laki dia berkata :'Kalau saya lain lagi, saya justru mau istri saya begitu dan harus begitu, tidak boleh ada yang ketinggalan. Pokoknya saya hanya memakai yang istri saya siapkan. kalau dia ketinggalan menyiapkan CD ya saya tidak pakai CD, biarin aja oplok-oplok seharian, artinya kan istri saya tidak mau saya pakai CD hari itu:)'.

Friday, January 07, 2005

Great Parents ( Family Series - Part 2, episode 2, Tamat)

Dalam ingatanku, sosok papaku bisa aku gambarkan sebagai orang yang paling disiplin sedunia, sementara mamaku adalah sosok ibu dan guru sejati. Saat SD semua hal tentang sekolah kami diatur papaku secara ‘sistematis’. Semua buku kami bentuk, ketebalan, dan sampulnya seragam. Papaku ‘mencetak’ nama dan judul buku itu dengan huruf dari penggaris semacam penggaris Rotring. Tiap buku itu diberi halaman, jadi tidak boleh dirobek untuk membuat kapal-kapalan atau semacamnyaJ. Untuk keperluan seperti itu sudah disediakan papaku buku terpisah. Menurut beliau ilmu itu pasti bersambung, jadi buku catatan tidak perlu ganti setiap naik kelas, tapi berganti kalau halamannya sudah habis. Buku catatan kami selalu tebal, biasanya untuk satu subject misalnya IPA baru habis setelah kelas 4.

Tiap papaku pulang kerja semua buku kami diperiksa papaku sekalian membahas apa yang kami pelajari hari itu. Jika ada yang menurut papaku salah dalam catatan atau jawaban tugas yang kami kerjakan hari itu papaku akan menulis komentar disana. Setelah selesai halaman itu di paraf papaku. Ritual seperti ini berlangsung setiap hari hingga kami kelas 4 SD. Naik ke kelas 5 ritual pemeriksaan ini hanya sesekali saja, dengan periode yang random, dan ini membuat banyak kejadian “lucu” :). Biasanya papaku akan mengumumkan :’nanti malam papa periksa buku kalian”. Untuk anak yang catatannya tidak rapi seperti aku pengumuman ini berarti :’tidak main seharin untuk membereskan semua catatan yang kurang dan tidak rapi, plus menyiapkan jawaban untuk pertanyaan mengenai beberapa lembar halaman yang hilang’:).

Begitulah, semua berlangsung seperti itu hingga kami kelas 6. Dan saat lulus dari SD kami berempat masing-masing punya satu lembar piagam seperti ini :



Aku menemukan lagi piagam ini sebulan lalu, fisiknya sudah jauh berbeda dari 14 tahun lalu ketika aku menerimanya, sudah menguning dan lusuh. Piagam sederhana ini yang menjadi seperti 'tiket' untuk masing-masing dari kami berempat untuk melangkah ke bandung dan mencoba menjadi bagian dari pelajar 'kota besar' yang sebelumnya soal-soalnya pernah kami ketahui dari majalah Bobo itu':)

Sebenarnya yang diajarkan oleh orang tuaku tidak melulu soal ilmu pengetahuan. Bahkan bisa aku katakan bahwa ilmu pengetahuan dan hal lainnya seperti agama, budi pekerti, kemandirian, kerendahan hati, tanggung jawab, kepercayaan diri, empati dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar diajarkan orang tuaku seimbang dan sama seriusnya. Jadi sebenarnya semua tetanggaku tidak perlu merasa demikian tidak mengertinya dengan papa dan mamaku ketika mendengar kabar bahwa kami bertiga akan sekolah jauh ke bandung padahal masih kecil-kecil. Bekal-nya sudah lebih dari cukup.

Komitment orang tua kami untuk pendidikan betul-betul mencengangkan untukku. Rumah yang dibangun susah payah dengan mudahnya mereka relakan untuk dijual demi biaya kami bertiga sekolah di Bandung. Keputusan yang menuai lebih banyak lagi pandangan tidak mengerti dari tetangga dan keluarga besar kami. tapi hebatnya orangtua kami tidak perduli dengan itu dan sepertinya betul-betul percaya bahwa ini pengorbanan yang tidak akan sia-sia.

Kali ini aku ingin menulis sedikit catatan masing-masing dari kami dari sejak kami pindah ke Bandung sampai kondisi hari ini


  • Ellyza Dian Satriana: SMA N 3 Bdg, ITB-Teknik Fisika, istri dan ibu dari 2 anak, a high quality mom :) , Jerman
  • Oktaria Ineztianty : SMP N 5 Bdg, SMA N 5 Bdg, ITB-Teknik Penerbangan, punya banyak teman , bekerja, Jakarta
  • Wahyu Hidayat : SMP N 14 Bdg, SMA Taruna Nusantara Magelang, ITB-Teknik Elektro, Unpad-Management, Communications Technology University of Ulm Germany, High Quality Jomblo:), Jerman
  • Martha Novandy : SMP N 44 Bdg, SMA N 1 Bdg, ITENAS-Teknik Industri, creative person, Bandung.

Saat aku melihat lagi piagam kuning tadi, catatan di atas, dan juga mengingat semua prestasi yang pernah kami dapat, aku rasa papaku “bohong” saat dia bilang dia tidak pernah menerima “buku manual” dari Tuhan saat kami lahir :)’. Jangan lupa untuk mewariskan 'buku manual' itu kepada kami ya pa, ma ;)


Great Parents ( Family Series - Part 2, epidose 1)

Awal minggu ini satu teman cerita bagaimana muramnya Aceh ikut mempengaruhi dia. Uncu, temanku satu SMA, sama-sama dari sumatra dan sekarang sama-sama tinggal di jakarta. Kejadian di Aceh membuat dia belakangan selalu rindu rumahnya, orang tuanya, dan pinginnya selalu pulang dan bersama-sama keluarganya. Aku agak surprise mendengar ini dari dia, karena setahu aku anak ini tipe yang pulang kampung itu kalau ingat saja, tipe adventurer sekali ( benar tidak, cu??). Kalau ada yanng belum percaya juga kalau bencana di Aceh itu luar biasa dahsyatnya, just believe it now..:)

Sebenarnya untukku sendiri imbas ini terasa sama. Begitu melihat semua tayangan itu, pikiranku langsung melayang ke keluargaku, terutama orangtuaku. Aku jadi mengingat-ingat tentang mereka, dan potongan-potongan gambar itu mulai melintas satu persatu di kepalaku. Kali ini ijinkan aku cerita tentang dua orang hebat untuk aku dan saudara-saudaraku. Jika nanti ada penyebutan beberapa prestasi sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri, hanya untuk penegasan dan penunjukan hasil yang aku anggap luar biasa dari dua orang hebat untukku ini.


Papaku lahir di Baturaja 50 tahun lalu, beliau besar di Prabumulih. Yang aku tau kehidupan papaku dari kecil tidak begitu mulus, kehilangan ibu waktu usia sekolah dasar, pendidikan tidak begitu terperhatikan, hingga papaku hanya berhasil duduk dikelas 2 SMA.


Sedangkan mamaku lahir di Bedegung, juga 50 tahun lalu. Hidup mamaku waktu kecil lebih tidak beruntung lagi karena kehilangan ibunya bahkan ketika mamaku belum berumur 1 tahun. Dan parahnya lagi beliau diasuh oleh ibu tiri yang menurut cerita beliau dan tetangga-tetangganya di kampung adalah tipe steorotip ibu tiri. Tapi untungnya pendidikan mamaku cukup baik, beliau berhasil menamatkan pendidikannya di PGA (pendidikan guru agama).


Mereka menikah di usia yang cukup muda, 20 tahun. Saat menikah papaku bekerja di perusahaan telekomunikasi dan mamaku mengajar agama di SD. Setelah menikah dan punya anak mamaku memutuskan untuk berhenti mengajar dan konsentrasi kekeluarga.

Melihat latar belakang keluarga dan pendidikan orang tuaku ini, sangat-sangat mengejutkan bagaimana mereka memutuskan untuk melakukan apa saja demi pendidikan kami anak-anaknya. Apalagi mengingat lingkungan sekitar kami yang sama sekali tidak pernah melihat pendidikan sebagai satu hal yang harus di prioritaskan.
Aku tidak tau darimana orang tuaku terilhami bagaimana cara mendidik kami, yang jelas bukan terinspirasi dari bagaimana dulu mereka dididik orang tuanya. Tapi apapun yang mengilhami itu aku takjub dengan hasilnya.

Mendidik anak bukan hal yang mudah, semua orang tau itu. Aku jadi ingat satu hari papaku pernah bicara begini :

"anak itu pemberian tuhan, yang ketika keluar dari perut ibu tidak disertai juga dengan keluarnya buku manualnya, tidak seperti saat membeli tv, waktu terima barang ada manual yang menunjukkan bagaimana memakainya, dan jika rusak ada petunjuk bagaimana memperbaikinya. Orangtua harus memikirkan sendiri dan berkreativitas sendiri.".

Papaku terus mengulang ini kalau kami mulai protes dengan aturan yang papaku terapkan:).

Kalau dikatakan pendidikan ketika anak-anak sangat menentukan, aku percaya itu. Dan mungkin juga ini yang sangat disadari oleh orangtuaku, sehingga mereka coba melakukan yang terbaik di rumah saat usia kami 4 – 12 tahun. Banyak ilmu yang menurutku penting seperti membaca dan mengaji kami kuasai sebelum usia sekolah. Aku mencoba mengingat-ingat apakah dulu pernah mengalami keterpaksaan atau bahkan menangis karena harus belajar? Dan aku tidak menemukan itu dalam ingatanku.

Seingatku aku pribadi lebih dulu bisa mengaji daripada membaca, dan keduanya aku kuasai sebelum aku masuk TK. Tiap malam sehabis maghrib mamaku mengajar kami mengaji, huruf demi huruf kemudian menyambung huruf dan akhirnya bisa membaca apa saja yang tertulis di alqur’an.Hal ini rutin kami laksanakan bahkan ketika kami pindah ke rumah sendiri yang bangunannya masih belum selesai dan listrikpun belum masuk jadi kami harus mengaji dibawah penerangan lampu semprong. Ada satu kejadian ketika sedang mengaji entah apa penyebabnya aku dan adikku yang bungsu ribut, dan kedua tangan kami menyentuh semprong lampu yang pasti panas sekali hingga pecah. Dan luka karena kulit yang melepuh itu masih tersisa sampai sekarang, bekas lukaku di tangan kiri dan adikku di tangan kanan, tapi ditempat yang sama. Sekarang kalau kami berdua bertemu masih sering menanyakan apa kabar luka itu? Apa masih ditempat yang sama??:)

Membaca juga tidak jauh berbeda dengan mengaji. Seingatku ini juga lebih banyak diajarkan mamaku karena rasanya memang lebih menarik belajar dengan mamaku:). Metode yang mamaku pakai sangat menarik buat anak-anak, lewat lagu dan cerita.

Entah melalui kesepakatan atau terjadi begitu saja, pembagian mengajar kami saat kami sudah masuk sekolah seperti ter-split jelas antara yang diajarkan mamaku dan yang diajarkan papaku. Papaku mengajar ilmu pasti dan pengetahuan alam sementara mamaku mengajar agama, kesenian, dan pengetahuan sosial.

Saat masa SD ini seingatku lagi-lagi kami nyaris tau semua yang anak SD harus tau itu dari belajar di rumah. Seperti hafal pengalian 1 – 10, 37 pasal UUD+pembukaan, 36 butir pengamalan pancasila, 27 provinsi beserta ibu kota, bandara, dan gubernurnya, mata uang dan kantor berita dunia. Semua selalu sudah kami kuasai bahkan ketika sekolahku belum mengajarkan apa-apa soal itu :)

Metode yang biasanya digunakan mamaku untuk ini adalah menuliskannya dalam kertas besar-besar dan menempelkannya di dinding kamar dan ruang makan kami. Kemudian secara random beliau sering secara tidak terduga menguji kami :). Aku ingat sekali satu kejadian tentang ini. Dulu tugasku setiap sore adalah menutup dan mengunci semua jendela yang ada di rumah, ada kira-kira 5 jendela. Jendela kami itu agak tinggi untuk ukuran anak SD kelas 3 jadi aku harus memanjat ke kusen jendela itu untuk meraih kunci paling atas dan menguncinya. Saat aku sedang memanjat itu mamaku sedang menyetrika tidak jauh dari jendela yang aku akan kunci, tiba-tiba mamaku bertanya :’tan..bandara yogyakarta apa??’ dan aku tidak bisa jawab :) Mamaku bilang selesai tutup jendela itu ke dapur dan lihat di kertas disana apa bandara yogyakarta dan kasih tau mama lagi. Sampai hari ini aku tidak pernah lupa bandara yogyakarta itu Adi Sucipto :).

Ketika itu aku pernah menanyakan ke papaku kenapa kami selalu diajarkan apa yang belum diajarkan di sekolah. Menurut papaku standard yang papaku pakai adalah standard Jakarta yang papaku ketahui dari Majalah Bobo dan Ananda. Dulu di majalah bobo ada 2 halaman yang isinya pertanyaan-pertanyaan untuk anak kelas 4 hingga kelas 6. Menakjubkan bukan?? Papaku rupanya ingin kami sejajar dengan anak-anak di jakarta meskipun kami sekolah di tempat yang bahkan mungkin tidak pernah terlintas dikepala orang-orang jakarta:).

Aku ingat dulu kami langganan banyak sekali majalah. Untuk papaku selain koran KOMPAS ada Tempo, intisari dan beberapa majalah ilmu pengetahuan dan psikologi modern yang aku lupa namanya, untuk mamaku ada majalah Ayahbunda dan Amanah, untuk kami Bobo, Ananda, Siswa, Aladin. Karena tempat kami adalah kota kecil, jadi papa-ku harus langganan semua majalah itu di kota kira-kira 40 km dari tempat kami. Jadi di rumahku nyaris tidak ditemukan apa-apa selain buku dan majalah. Sebenarnya ini kebiasaan yang sangat tidak lazim dilingkungan kami, dan sering jadi bahan pembicaraan orang-orang karena aneh untuk mereka kok bisa ada orang yang lebih mementingkan untuk membeli segala macam kertas bertulis itu sementara rumahnya bahkan belum ditembok dinding luarnya. Seingatku rumah kami selesai di tembok ketika aku duduk di kelas 4 SD. Ini foto kami di depan rumah yang sudah di tembok itu :)


Wednesday, January 05, 2005

Aceh, Lagu itu....dan MYS2DBD3 *

Perjalanan ini
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan

Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan

Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap
kering rerumputan

Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecil
Menangis sedih ...

Reff#

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak
Kepada matahari

Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit

Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang

(Berita Kepada Kawan- Ebiet G Ade)

9 hari belakangan ini lagu ini menjadi sangat-sangat sering terdengar dimana-mana, menjadi “sountrack” tayangan-tayangan memilukan dari bencana luar biasa di Aceh.
Memang terasa pas sekali syair lagu ini dengan tayangan-tayangan yang disajikan, tapi tiba-tiba aku terpikir, mengapa lagu ini hanya ‘mengilhami’ orang ketika sudah terjadi bencana besar seperti ini ? mengapa tidak mengilhami orang dalam menjalankan hidupnya sehari-hari?? Pertanyaannya : adakah orang yang selalu terilhami oleh lagu ini dalam tiap langkah hidupnya???

Ada, setidaknya satu orang yang aku tau selalu menjadikan lagu ini sebagai ilham, pengingat dan filter dalam hidupnya. Dia papaku…



Sebenarnya aku tidak tau pasti penyanyi favorite papaku, yang aku ingat hanya waktu aku kecil papaku sering sekali memutar kaset-kaset dari lagu-lagu Ebit G. Ade, Pance F Pondaag, dan Jamal Mirdad :) Dulu kami tidak punya stereo set, bahkan compo keci, kami hanya punya walkman yang kemudian dimodifikasi dengan menyambungkan walkman ini ke 2 speaker tambahan, sehingga kami sekeluarga bisa ikut menikmati lagu-lagu yang diputar. Aku ingat sekali walkman itu warnanya putih, bukan silver.

Seperti aku pernah ceritakan sebelumnya, adalah kebiasaan keluarga kami untuk berkumpul dan bercerita di ruang tengah pada malam hari sehabis makan malam. Dan lagu Ebiet G Ade ini pernah menjadi topik pembahasan papaku. Yang menjadi stress point papaku adalah bait ini :

Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
Dengan dosa-dosa….

Menurut papaku malam itu, banyak sekali contoh yang sering kita temukan di sekeliling kita bagaimana orang yang salah namun dia bercerita tentang itu dengan bangga. Dan mulailah papaku memberikan contoh-contoh di sekeliling kami tentang itu, misalnya cerita satu ini yang masih aku ingat :
Saat itu sedang marak sekali di lingkungan kami orang-orang yang ‘mencuri’ listrik, saling berbagi trik bagaimana mengakali agar meteran listrik tidak jalan, jadi tidak perlu membayar banyak. Dan jika hal ini berhasil, tidak diketahui oleh petugas PLN mereka akan bercerita dengan bangganya kepada semua orang bahwa dia berhasil mengelabui PLN.

Atau cerita tetangga tentang saudaranya yang tentara dan berhasil menakuti pemilik bioskop agar tetanggaku dan saudaranya yang tentara itu bisa masuk bioskop tanpa membayar. Untuk hal ini aku memang sering sekali mendengar sendiri cerita dari temanku yang ayah-nya atau oomnya adalah tentara.

Oh satu hal, untuk pertama kalinya malam itu aku tau apa yang dimaksud orang-orang dengan bekerja di tempat ‘basah’ yang sering aku dengar dari percakapan ibu-ibu tetanggaku:). Papaku menjelaskan itu dan menurut beliau mustinya tidak ada kategori pekerjaan ‘basah’ atau ‘kering’. Orang yang menganggap pekerjaannya ‘basah’ ya itu tadi termasuk orang yang salah dan bangga dengan dosa-dosa :)

Aku tidak melebih-lebihkan kalau aku katakan lagu ini memang betul-betul ‘dibawa’ papaku dalam tiap langkahnya. Jadi jangan pernah bercerita di depan papaku misalnya tentang bagaimana dengan suksesnya berhasil mengakali pulsa telpon, apalagi bercerita tentang itu dengan nada bangga, niscaya yang akan didengar adalah komentar :’ini dia nih manusia yang salah dan bangga dengan dosa-dosa’ :)

Begitu seringnya frase itu aku dengar dari papaku. Aku merasa beruntung sekali diajarkan oleh papaku tentang ini, dari kecil, membuat semuanya terserap dan mengendap di kepalaku hingga kini.

Sudah banyak sekali bahasan tentang hikmah dibalik tragedi aceh, dan sama banyaknya dengan lagu ‘Berita Kepada Kawan” itu terdengar, semoga hikmah dan lagu ini tidak berlalu begitu saja seiring dengan berlalunya tragedi besar ini. Tidak harus menjadi orang suci, tapi setidaknya jangan menjadi manusia yang selalu salah namun bangga dengan dosa-dosa.

*MYS2DBD3 ( Manusia Yang Selalu Salah Dan Bangga Dengan Dosa-Dosa)